Fenomena Alam di Luar Atmosfer Bumi

Ilmu ini secara pokok mempelajari berbagai sisi dari benda-benda langit seperti asal usul, sifat fisika/kimia, meteorologi, dan gerak dan bagaimana pengetahuan akan benda-benda tersebut menjelaskan pembentukan dan perkembangan alam semesta.

Pembentukan dan Perkembangan Alam Semesta

Astronomi sebagai ilmu adalah salah satu yang tertua, sebagaimana diketahui dari artifak-artifak astronomis yang berasal dari era prasejarah; misalnya monumen-monumen dari Mesir dan Nubia, atau Stonehenge yang berasal dari Britania. Orang-orang dari peradaban-peradaban awal semacam Babilonia, Yunani, Tiongkok, India, dan Maya juga didapati telah melakukan pengamatan yang metodologis atas langit malam. Akan tetapi meskipun memiliki sejarah yang panjang, astronomi baru dapat berkembang menjadi cabang ilmu pengetahuan modern melalui penemuan teleskop.

Astronomi Observasional

Astronom-astronom amatir telah dan terus berperan penting dalam banyak penemuan-penemuan astronomis, menjadikan astronomi salah satu dari hanya sedikit ilmu pengetahuan di mana tenaga amatir masih memegang peran aktif, terutama pada penemuan dan pengamatan fenomena-fenomena sementara.

Jumat, 31 Maret 2017

Klasifikasi Harvard

Astronomi
Klasifikasi bintang (Harvard)
(Tentor SMA Negeri 1 Fakfak)

Kemerlip cahaya bintang dilangit sangat berwarna-warni. Ada yang berwarna biru terang, kuning kekuningan dan ada pula yang berwarna orange. Apa kah ada kaitannya semua warna ini dengan “pribadi” dari si bintang-bintang yang ada di langit ini? Perbedaan warna ini ternyata digunakan oleh para astronom untuk mengetahui temperatur permukaan, garis hidrogen pada spektrum bintang dan luminositas(jumlah energi yang dipancarkan sebuah bintang ke segala arah per satuan waktu) dari si bintang itu sendiri. Oleh karenanya dari macam-macam warna bintang yang dapat dilihat itu dibuatlah sebuah klasifikasi bintang.
Pada tahun 1814, Joseph von fraunhofer seorang fisikawan asal jerman mencatat dan memetakan sejumlah garis-garis gelap dalam sebuah spektrum Matahari jika cahayanya dilewatkan pada suatu prisma. Dari hasil pemetaan yang dihasilkan, Garis-garis gelap ini  kemudian disebut sebagai garis-garis Fraunhofer. Disisi lain Kirchhoff dan Bunsen kemudian manemukan bahwa seperangkat garis-garis tersebut berhubungan dengan suatu elemen kimia yang berada di lapisan atas matahari. Fraunhofer juga menemukan bahwa bintang-bintang lain juga memiliki spektrum seperti Matahari, tetapi dengan pola garis-garis gelap yang berbeda.
53 tahun setelah penemuan garis fraunhofer, seorang astronom Yesuit yaitu Angelo Secchi, melakukan penyelidikan terhadap sekitar 4000 spektrum bintang dari hasil pengamatan yang dilakukannya dengan menggunakan prisma obyektif. Hanya dengan menggunakan mata, Secchi menggolongkan bintang-bintang tersebut ke dalam tiga kelas. Bintang dengan garis-garis serapan sangat kuat dari atom hidrogen digolongkan sebagai tipe I berwarna putih, bintang dengan garis-garis serapan sangat kuat dari ion logam digolongkan sebagai tipe II berwarna kuning, dan bintang dengan pita-pita serapan lebar digolongkan sebagai tipe III berwarna merah. Setahun kemudian Secchi memasukkan beberapa bintang yang memiliki garis-garis serapan dengan pola yang aneh, jarang ada, mirip tetapi tidak terlalu sama dengan pola tipe III, dan menggolongkannya sebagai tipe IV.
Dari hasil klasifikasi bintang yang dilakukan oleh Secchi, Edward Charles Pickering ditahun 1886 memulai penyelidikan spektrum bintang secara fotografi bertempat diobservatorium Harvard. Dengan menggunakan prisma obyektif para astronom di Harvard meng-klasifikasikan bintang berdasarkan kuat garis-garis serapan pada deret Balmer dari hidrogen netral (H I), memperluas penggolongan dan menamakan kembali penggolongan dengan huruf A, B, C dan seterusnya hingga P, dimana bintang kelas A memiliki garis serapan atom hidrogen paling kuat, B terkuat berikutnya dan seterusnya.
Asisten-asisten Pickering (Williamina Fleming, Annie Jump Cannon, Antonia Maury, dan Henrietta Swan Leavitt), memulai sebuah proyek skala besar pengklasifikasian spektrum bintang. Antara ditahun 1911 dan 1949, 400.000 bintang telah didaftarkan ke dalam katalog Henry Draper (dinamai menurut sang penyandang dana dan perintis penelitian spektroskopi fotografi Amerika, Henry Draper). Para ‘gadis’ Harvard ini, khususnya Cannon dan Maury, kemudian menyadari adanya sebuah keteraturan dalam semua garis-garis spektral (tidak hanya hidrogen) jika penggolongan bintang-bintang tersebut diurutkan menjadi O, B, A, F, G, K, M. Kelas lainnya dihilangkan karena ditemukan bahwa beberapa di antaranya sebenarnya merupakan kelas yang sama. Untuk mengingat urutan penggolongan ini biasanya digunakan kalimat “OBA Fine Girl Kiss Me”. Dengan kualitas spektrogram yang lebih baik memungkinkan penggolongan ke dalam 10 sub-kelas yang diindikasikan oleh sebuah angka arab (0 hingga 9) yang mengikuti huruf.
Pada mulanya urutan pola spektrum ini diduga karena perbedaan susunan kimia atmosfer bintang. Namun kemudian disadari bahwa urutan tersebut sebenarnya merupakan urutan temperatur permukaan bintang, setelah pada tahun 1925, Cecilia Payne-Gaposchkin berhasil membuktikan hubungan tersebut.
Berikut ini adalah daftar klasifikasi bintang yang dikenal dengan klasifikasi Hardvard atau klasifikasi bintang berdasarkan spektrum. Kelas bintang ini dimulai dari yang paling panas hingga yang paling dingin (dengan massa, radius dan luminositas dalam satuan Matahari)
Tabel Klasifikasi Bintang berdasarkan spektrum
Kelas O

Bintang kelas O adalah bintang yang paling panas, temperatur permukaannya lebih dari 25.000 Kelvin. Bintang deret utama kelas O merupakan bintang yang nampak paling biru, walaupun sebenarnya kebanyakan energinya dipancarkan pada panjang gelombang ungu dan ultraungu. Dalam pola spektrumnya garis-garis serapan terkuat berasal dari atom Helium yang terionisasi 1 kali (He II) dan karbon yang terionisasi dua kali (C III). Garis-garis serapan dari ion lain juga terlihat, di antaranya yang berasal dari ion-ion oksigen, nitrogen, dan silikon. Garis-garis Balmer Hidrogen (hidrogen netral) tidak tampak karena hampir seluruh atom hidrogen berada dalam keadaan terionisasi. Bintang deret utama kelas O sebenarnya adalah bintang paling jarang di antara bintang deret utama lainnya (perbandingannya kira-kira 1 bintang kelas O di antara 32.000 bintang deret utama). Namun karena paling terang, maka tidak terlalu sulit untuk menemukannya. Bintang kelas O bersinar dengan energi 1 juta kali energi yang dihasilkan Matahari. Karena begitu masif, bintang kelas O membakar bahan bakar hidrogennya dengan sangat cepat, sehingga merupakan jenis bintang yang pertama kali meninggalkan deret utamaContoh : Zeta Puppis
Spektrum dari bintang kelas O5V
Kelas B

Bintang kelas B adalah bintang yang cukup panas dengan temperatur permukaan antara 11.000 hingga 25.000 Kelvin dan berwarna putih-biru. Dalam pola spektrumnya garis-garis serapan terkuat berasal dari atom Helium yang netral. Garis-garis Balmer untuk Hidrogen (hidrogen netral) nampak lebih kuat dibandingkan bintang kelas O. Bintang kelas O dan B memiliki umur yang sangat pendek, sehingga tidak sempat bergerak jauh dari daerah dimana mereka dibentuk, dan karena itu cenderung berkumpul bersama dalam sebuah asosiasi OB. Dari seluruh populasi bintang deret utama terdapat sekitar 0,13 % bintang kelas B. Contoh : Rigel, Spica
Spektrum dari bintang kelas B2II

Kelas A

Bintang kelas A memiliki temperatur permukaan antara 7.500 hingga 11.000 Kelvin dan berwarna putih. Karena tidak terlalu panas maka atom-atom hidrogen di dalam atmosfernya berada dalam keadaan netral sehingga garis-garis Balmer akan terlihat paling kuat pada kelas ini. Beberapa garis serapan logam terionisasi, seperti magnesium, silikon, besi dan kalsium yang terionisasi satu kali (Mg II, Si II, Fe II dan Ca II) juga tampak dalam pola spektrumnya. Bintang kelas A kira-kira hanya 0.63% dari seluruh populasi bintang deret utamaContoh : Vega, Sirius

Kelas F

Bintang kelas F memiliki temperatur permukaan 6000 hingga 7500 Kelvin, berwarna putih-kuning. Spektrumnya memiliki pola garis-garis Balmer yang lebih lemah daripada bintang kelas A. Beberapa garis serapan logam terionisasi, seperti Fe II dan Ca II dan logam netral seperti besi netral (Fe I) mulai tampak. Bintang kelas F kira-kira 3,1% dari seluruh populasi bintang deret utamaContoh : Canopus, Procyon
Spektrum dari bintang kelas F2III

Kelas G

Bintang kelas G barangkali adalah yang paling banyak dipelajari karena Matahari adalah bintang kelas ini. Bintang kelas G memiliki temperatur permukaan antara 5000 hingga 6000 Kelvin dan berwarna kuning. Garis-garis Balmer pada bintang kelas ini lebih lemah daripada bintang kelas F, tetapi garis-garis ion logam dan logam netral semakin menguat. Profil spektrum paling terkenal dari kelas ini adalah profil garis-garis Fraunhofer. Bintang kelas G adalah sekitar 8% dari seluruh populasi bintang deret utamaContoh : Matahari, Capella, Alpha Centauri A
Spektrum dari bintang kelas G5III

Kelas K

Bintang kelas K berwarna jingga memiliki temperatur sedikit lebih dingin daripada bintang sekelas Matahari, yaitu antara 3500 hingga 5000 Kelvin. Alpha Centauri B adalah bintang deret utama kelas ini. Beberapa bintang kelas K adalah raksasa dan maharaksasa, seperti misalnya Arcturus. Bintang kelas K memiliki garis-garis Balmer yang sangat lemah. Garis-garis logam netral tampak lebih kuat daripada bintang kelas G. Garis-garis molekul Titanium Oksida (TiO) mulai tampak. Bintang kelas K adalah sekitar 13% dari seluruh populasi bintang deret utamaContoh: Alpha Centauri B, Arcturus, Aldebaran
Spektrum dari bintang kelas K4III
Kelas M

Bintang kelas M adalah bintang dengan populasi paling banyak. Bintang ini berwarna merah dengan temperatur permukaan lebih rendah daripada 3500 Kelvin. Semua katai merah adalah bintang kelas ini. Proxima Centauri adalah salah satu contoh bintang deret utama kelas M. Kebanyakan bintang yang berada dalam fase raksasa dan maharaksasa, seperti Antares dan Betelgeuse merupakan kelas ini. Garis-garis serapan di dalam spektrum bintang kelas M terutama berasal dari logam netral. Garis-garis Balmer hampir tidak tampak. Garis-garis molekul Titanium Oksida (TiO) sangat jelas terlihat. Bintang kelas M adalah sekitar 78% dari seluruh populasi bintang deret utamaContoh : Proxima Centauri, Antares, Betelgeuse
Spektrum dari bintang kelas M0III

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Klasifikasi_bintang


Satuan Astronomi

Astronomi Dasar
Definisi Ulang 1 Satuan Astronomi
(Tentor OSN SMA Negeri 1 Fakfak)

Berapa jarak Bumi – Matahari? Jawaban paling mudah adalah 1 Astronomical Unit (au) atau kalau dalam bahasa Indonesia jadi 1 Satuan Astronomi (SA). Ini memang cara mudah mengingat jarak Bumi – Matahari atau sebagai skala jarak dalam Tata Surya. Jauh lebih mudah mengingat jarak Mars – Matahari kurang lebih 1,5 au daripada jarak sebenarnya yang ratusan juta km.

Nah angka 1 au ini juga tidak muncul dengan tiba-tiba melainkan dari perhitungan panjang yang dimulai oleh Aristarchus dari Samos, pemikir abad Yunani Klasik. Ia memperkirakan jarak Bumi-Matahari hanya 20 kali jarak Bumi-Bulan (jarak Bumi-Bulan: 384 000 km), tapi ternyata perkiraannya meleset jauh karena jarak Bumi-Matahari ternyata sekitar 390 kali jarak Bumi-Bulan.
Pengukuran presisi pertama kali dilakukan pada tahun 1672 oleh Giovanni Cassini dan rekannya Jean Richer yang mengamati Mars dari 2 lokasi berbeda yakni Paris dan Guyana Prancis. Dengan menggunakan sistem parallax, para astronom berhasil menghitung jarak Bumi – Mars dan menggunakan hasil tersebut untuk menghitung jarak Bumi – Matahari. Hasilnya mereka menemukan kalau jarak Bumi – Matahari 140 juta km. Tidak terlalu jauh dari hasil perhitungan saat ini.

Perhitungan dengan sistem parallax ini merupakan satu-satunya metode perhitungan yang dapat dipercaya untuk menghitung jarak di sistem Tata Surya. Dan jarak rata-rata Bumi – Matahari, 149.597.870.691 meter,  kemudian didefinisikan sebagai 1 Astronomical Unit atau 1 Satuan Astronomi yang juga digunakan untuk menyatakan jarak dalam skala tata surya kita.
Tapi amandemen IAU 1976 System of Astronomical Constants mendefinisikan satuan astronomi sebagai “jari-jari orbit sirkular mengelilingi matahari yang bergerak dengan gerak rata-rata 0.01720209895 radian per hari”.  Hal ini dilakukan  dengan asumsi jarak Bumi – Matahari tidak dapat dihitung dengan akurat. Harga 0.01720209895 merupakan konstanta Gauss.
Penetapan definisi 1 au berdasarkan konstanta Gauss ini menyulitkan para astronom yang bekerja dalam pemodelan Tata Surya. Bagaimana tidak? Ketika Einstein memperkenalkan teori relativitas umum, maka kita tahu kalau ruang waktu itu relatif bergantung pada lokasi pengamat. Dengan demikian satuan astronomi juga bergeser sampai ribuan meter bahkan lebih ketika kerangka acuannya bergeser. Meskipun memang untuk kasus wahana antariksa pergeseran ini tidak berpengaruh karena jarak sudah dihitung dengan kerangka acuan Bumi.
Masalah lainnya datang dari Matahari. Konstanta Gauss bergantung dengan massa Matahari ( k = (GMs)1/2 ). Jadi ketika Matahari mengalami kehilangan massa saat ia meradiasikan energinya, konstanta Gauss pun berubah dan artinya lagi satuan astronomi juga mengalami perubahan secara perlahan.
Tapi kan perkembangan teknologi masa kini sudah mampu untuk mengukur jarak Bumi – Matahari dengan tingkat akurasi tinggi.  Pengukuran jarak tersebut bisa dilakukan menggunakan laser ataupun wahan antariksa. Karena itu dirasa perlu untuk mendefinisi ulang harga tepat 1 au untuk digunakan secara umum.
Dalam IAU GA di Beijing, China pendefinisian ulang ini dilakukan melalui voting anggota IAU yang hadir. Hasilnya disetujui adanya penetapan 149.597.870.700 meter sebagai 1 au dan simbol “au” digunakan untuk menyatakan Astronomical Unit atau Satuan Astronomi.

Lantas apakah definisi ulang ini memberikan efek pada Bumi? Tentu saja tidak. Bumi tetap pada tempatnya dan akan terus bergerak mengelilingi barycenter yang berada sangat dekat dengan Matahari. Tapi bagi astronom penentuan harga 1 au tersebut menunjukkan kalau saat ini manusia sudah bisa menentukan jarak yang presisi antara Bumi – Matahari.

Sistem Magnitudo

Astronomi
Sistem Magnitudo
(Tentor OSN SMA Negeri 1 Fakfak)

Magnitudo adalah tingkat kecemerlangan suatu bintang. Skala magnitudo berbanding terbalik dengan kecemerlangan bintang, artinya makin terang suatu bintang makin kecil skala magnitudonya. Pada zaman dulu, bintang yang paling terang diberikan magnitudo 1 dan yang cahayanya paling lemah yang masih dapat dilihat oleh mata diberi magnitudo 6. Sekarang diberikan ketentuan bintang dengan beda magnitudo satu memiliki beda kecerlangan 2,512 kali (selisih lima magnitudo berarti perbedaan kecerlangan seratus kali), jadi jika bintang A memiliki magnitudo 1 dan bintang B memiliki magnitudo 3 berarti bintang A 6,25 kali tampak lebih terang dari bintang B. Perbandingan magnitudo semu bintang dapat menggunakan rumus Pogson berikut:

 

Pengukuran magnitudo berdasarkan keadaan yang tampak dari Bumi seperti di atas disebut magnitudo semu, m. Magnitudo mutlak (M) adalah perbandingan nilai terang bintang yang sesungguhnya. Seperti yang Anda ketahui, jarak antara bintang yang satu dan bintang yang lain dengan Bumi tidaklah sama. Akibatnya, bintang terang sekalipun akan nampak redup bila jaraknya sangat jauh. Oleh karena itu, dibuatlah perhitungan magnitudo mutlak, yaitu tingkat kecerlangan bintang apabila bintang  itu diletakkan hingga berjarak 10 parsec dari Bumi. Dengan mengingat persamaan radiasi E = L /4Ï€r2, dengan E energi radiasi,  L luminositas (daya) dan r jarak,  maka perhitungan jarak bintang, magnitudo semu dan magnitudo mutlak (absolut) adalah:


Perlu diingat jarak dalam persamaan modulus di atas (d) harus dinyatakan dalam satuan parsec. Satu parsec ialah jarak suatu bintang yang mempunyai sudut paralaks satu detik busur, yang sebanding dengan 3,26 tahun cahaya (ly) atau 206265 satuan astronomi (AU). Jika yang ditanyakan ialah jarak, maka rumus diatas dapat dibalik menjadi:


Jika magnitudo absolut dan magnitudo semunya diketahui, jaraknya dapat dihitungKuantitasmM dikenal sebagai modulus jarak. Adapun hubungan antara magnitudo mutlak dan luminositas (daya) bintang, L dapat diterapkan berdasarkan rumus Pogson.


Misalkan magnitudo semu matahari tampak dari Bumi, m = -26,83, maka magnitudo mutlak matahari, M ialah:

M = m + 5 - 5 log d.

mengingat jarak Bumi-Matahari = 1 AU = 1/206265 parsec, maka
M = -26,83 + 5 - 5 log (1/206265)
M = 4,74

Kamis, 30 Maret 2017

Paradoks Sosial

Paradoks Sosial…!
PENGGETAHUAN DAN PIKIRAN
(Yunus Adiantor SL, S.Pd., M.Si)

Pengetahuan dan pikiran: tahukah Anda perbedaannya? Kita semua tahu memperluas pengetahuan dan mengembangkan pikiran itu tujuan utamanya satu, yakni senjata untuk menghadapi masalah dalam kehidupan. Beberapa orang dengan bangganya memamerkan pengetahuannya, dan mengajarkan pengetahuannnya kepada orang lain dengan anggapan bahwa pengetahuan menjamin bahwa kita akan semakin ahli dalam memecahkan masalah-masalah yang menghampiri atau menciptakan inovasi-inovasi baru. Tahukah Anda bahwa pengetahuan itu “berbahaya”, seperti pedang bermata dua? Ya, pengetahuan hanya akan berguna untuk kebaikan jika digunakan dengan bijak. Di sini saya tidak membahas hal-hal seperti pemanfaatan pengetahuan untuk membuat piranti-piranti jahat atau proyek-proyek bejat lainnya, melainkan tentang hal kecil yang sering teracuhkan yakni dalam memecahkan masalah.
Pengetahuan bisa saja membutakan kita dari jalan yang benar.
Umpamakanlah si A dan si B sama-sama disuruh gurunya memasang sebuah pigura di dinding kelas dan mereka sama-sama punya bahan untuk itu: paku. Masalahnya ialah bagaimana cara memaku dinding agar pigura dapat terpasang? Tentu saja pakunya perlu dipalu, dan mereka tak punya palu. Si A, yang menggunakan pikiran jernih untuk memecahkan masalah itu keluar sejenak, dan mendapatkan batu untuk memukul paku hingga menancap di dinding. Si B, dengan pengetahuannya, memutuskan ia memerlukan palu untuk memalu paku tadi. Pergilah si B mencari palu ke bagian perlengkapan sekolah, kantin, sampai ke rumah warga. Ia tak mengindahkan berbagai hal yang sebenarnya dapat digunakan untuk memecahkan masalah itu. Ia mencoba meminjam palu dari satu tempat ke tempat lain sampai dapat.
Si A adalah orang yang menggunakan pengetahuan dan pikirannya secara bijak. Ia adalah orang yang mendahulukan kemurnian pikiran daripada pengetahuan. Yang diperlukan ialah menancapkan paku ke dinding, maka dengan pikiran yang benar ia mencari cara untuk menancapkan paku. Si B adalah orang yang kurang bijak menggunakan pengetahuan dan pikirannya. Ia membiarkan pengetahuannya menutupi jalan keluar yang sebenarnya ada di dekatnya. Yang ia perlukan adalah palu, maka ia mengabaikan batu-batu dan benda lainnya (yang sebenarnya dapat digunakan) dan mencari jalan panjang dan memakan waktu untuk menyelesaikan masalah itu sesuai dengan pengetahuannya. Si B membiarkan pengetahuannya menutupi jalan keluar. Si A dengan mudah dan cepat menyelesaikan masalah, sedangkan si B mencari jalan yang rumit dan memakan waktu (malah mungkin tidak berhasil) karena beranggapan bahwa solusi hanya mungkin jika sesuai dengan pengetahuan.
Jangan biarkan pengetahuan menutupi jalan kebenaran. Kita harus menggunakan pengetahuan yang kita miliki secara bijak.

Logika Verbal

LOGIKA VERBAL...!!!
PARADOKS SI TUKANG BOHONG
(Yunus Adiantor SL, S.Pd.,M.Si)

Paradoks si tukang bohong atau Paradoks Pembohong (Liar Paradox) adalah salah satu paradoks dalam logika verbal yang paling tua dan terkenal. Banyak paradoks-paradoks lain yang memiliki bentuk yang mirip dengan paradoks ini digolongkan jadi satu kelompok. Salah satu yang paling tua ialah Epimenides paradox. Epimenides, seorang Kreta menyatakan "Semua orang Kreta selalu berkata bohong." Nah, jadi kalimat Epimenides tadi jujur atau bohong? Seandainya kita menjawab Epimenides bohong (argumen 1: kan dia orang Kreta, dan orang Kreta itu pembohong) maka kalimat "Semua orang Kreta selalu berkata bohong" bernilai salah (bohong), berarti orang Kreta bukan pembohong dan ini mematahkan argumen 1 -- jelas terlihat kontradiksi di sini. Pun jika kita menjawab Epimenides jujur (argumen 2: Epimenides menyatakan semua orang Kreta selalu bohong), berarti dia berkata yang sebenarnya (jujur), tapi keadaan ini bertentangan dengan pernyataannya, dia selalu berkata bohong. Jadi, Epimenides itu jujur atau bohong?
Bentuk lain dari paradoks pembohong (meskipun logikanya tidak sama dengan yang pertama) ialah kalimat "Kalimat ini salah", jadi kalimat itu salah atau benar? Sebut "Kalimat ini salah" sebagai A. Jika A salah, berarti A benar karena mengatakan hal yang sama, kalimat ini salah. Sebaliknya jika A benar, berarti "kalimat ini salah" bernilai benar, dengan kata lain A salah. Jika kita menjawab A tidak benar maupun salah akan memberikan keadaan kontradiksi yang sama saja. Jika kita merubah bentuk kalimat A menjadi "Kalimat ini tidak benar," sebut kalimat B (jelas A=B, berarti tidak ada yang berbeda kan?). Jika kalimat B tidak benar, berarti kalimat B bernilai benar karena menyatakan hal yang sesuai, "Kalimat ini tidak benar". Bingung?
Oke, sebagai penutup saya perkenalkan suatu bentuk lain liar paradox yang ditemukan oleh anak umur 11 tahun, Veronique Eldridge-Smith. Paradoks yang dikenal paradoks Pinokio itu menanyakan "Apa yang terjadi jika Pinokio berkata, 'Hidungku akan memanjang'?". Kita tahu Pinokio, anaknya Geppetto, hidungnya akan tumbuh memanjang jika ia berbohong. Jika Pinokio berkata "Hidungku akan memanjang" dan ternyata hidungnya tidak memanjang, berarti Pinokio berbohong, dengan demikian hidungnya akan memanjang. Tetapi jika hidungnya memanjang berarti Pinokio berkata jujur, maka hidungnya tidak semestinya memanjang. Dengan demikian, Pinokio berada pada keadaan hidungnya akan memanjang saat hidungnya tidak memanjang. Hebat!!
Sebagai penutup (kali ini benar-benar penutup), coba pikirkan paradoks yang dikenal sebagai "Crocodile dilemma". Seekor buaya menangkap seorang anak dan berjanji pada ayah anak itu untuk membebaskan sang anak jika sang ayah mengetahui apa yang ia (Si Buaya) akan lakukan. Nah, jika sang ayah berkata "Kau tidak akan mengembalikan anakku," apakah yang akan terjadi?

Sebagai contoh:
Manakah yang merupakan planet?
a. Markurius
b.Bumi
c.Jupiter
d.Semua benar
e.Semua salah
Jawab d. heheeee..... paradokskan...!!!!